RINGKASAN HIDUP


Lo Kok Hian dikenal sebagai seorang pribadi yang supel, pandai bergaul, modern, periang dan ramah. Beliau juga seorang ayah dan suami yang baik untuk isterinya, The Kim Hwa, yang memiliki masalah pendengaran sejak bayi. Tetapi kondisi tersebut tidak mengurangi kasih dan kesetiaan seorang Lo Kok Hian terhadap isterinya.


Banyak kenangan manis dari kehidupan Lo Kok Hian yang dikenang oleh anak-anak Lo Kok Hian yang masih hidup pada saat ini. Salah satu kenangan manis yang berhasil didapatkan dari saksi hidup adalah dari anak ke 6 yaitu Lo Ping Gwan, dimana Lo Ping Gwan ingat betul ayahnya adalah penggemar sepak bola dan sering mengajak anak-anaknya nonton sepak bola di Lapangan Balongsari Mojokerto, dan ketika pertandingan sudah selesai, ayahnya selalu membelikan jajan untuk anak-anaknya berupa makanan kecil seperti kacang rebus dan lain sebagainya.


Lo Kok Hian meninggal karena serangan sesak napas yang tiba-tiba, pada saat Lo Kok Hian baru pulang dari Bali untuk berkenalan dengan calon mertua Anna Lo (anak Lo Biauw Hwie). Serangan sesak napas tersebut terjadi pada tengah malam dan berakibat fatal pada kematiannya.


Kejadian tersebut sangat disesali oleh anak ke 4 Lo Kok Hian yaitu Marietje Lo, karena saat itu Marietje Lo belum lulus dari Fakultas Kedokteran dan sedang kuliah di luar kota (Surabaya). Sedangkan anak ke 3 Lo Kok Hian yaitu Esther Lo yang menyaksikan langsung kejadian itu tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak mampu juga untuk memberikan pertolongan, Esther Lo hanya mampu berdoa dan mengimani bahwa ayahnya telah menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat di saat-saat kritis hidupnya waktu itu.

Keturunan Lo Kok Hian adalah sebagai berikut :

CERITA KENANGAN

KISAH CERITA MARIETJIE LO KE BANDUNG UNTUK MASUK ITB


Tahun 1959 saya lulus SMA di Jogjakarta. Alasan saya sekolah di Jogja, karena biaya sekolah disana jauh lebih murah daripada sekolah di Surabaya. Ada sedikit cerita menarik, ketika sekolah di Jogja, karena ekonomi keluarga yang kurang, saya terpaksa harus jalan kaki ke sekolah sepanjang 1 km, tiap hari pulang pergi 2 km. Itu harus saya lakukan karena saya tinggal di asrama puteri yang lokasinya dengan sekolah sejauh 1 km.

Begitu saya lulus SMA Katolik Stella Duce di Jogjakarta, saya pulang ke Mojokerto dan ikut test masuk perguruan tinggi negeri di Sekolah Negeri Wijaya Kusuma Surabaya. Mungkin keberuntungan saya, saya bisa diterima di ITB.

Pada jaman itu penerimaan mahasiswa negeri disiarkan di radio di seluruh penjuru Indonesia. Papi saya sungguh berharap saya bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Dan Puji Tuhan, harapan papi tercapai. Papi Kok Hian yang mendengarkan pengumumuan itu di radio, sebab saat itu saya sedang menjalani ploncoan di PMKRI.

Saya berangkat ke Bandung diantar oleh Koh Ngah Ping Liong, naik kereta api.

Namun kira kira dua minggu tinggal di Bandung, saya mendapat pengumunan diterima di Fakultas Kedokteran UNAIR SURABAYA. Papi yang memang berharap anaknya ada yang jadi dokter, menganjurkan saya untuk melepas ITB dan kuliah kedokteran di UNAIR. Alasannya, selain itu yang jadi harapan papi, lokasi UNAIR juga dekat dengan Mojokerto.

Sayang Sekali, papi meninggal tahun 1964, hanya setahun sebelum saya akhirnya lulus jadi dokter.


BERPOSE DI STASION KERETA API MOJOKERTO

Sebelum berangkat ke Bandung, kamin sempat berfoto di stasion KA depan rumah kami.

Berdiri : Lo Ping Liong & Lilik Ningsih (Mantan istri Lo Gwat Liang)

Jongkok dari kiri : Marietjie Lo, Lo Ping Hien (anak kecil), dan...?


Foto Lo Gwat Liang



LO GWAT LIANG

SEPENGGAL KISAH NONTON WAYANG ORANG

(DICERITAKAN OLEH : LO GWAT LIANG SECARA SPONTAN DARI GROUP WHATSAPP

DIKETIK BELIAU TANGGAL 22 OCTOBER 2021)

Saya jadi ingat, waktu diajak nonton wayang-orang di gedung belakang Pasar Kliwon Mojokerto. Bagi kami yang selalu menunggu keluarnya para Bhuto2 galak......, paling favorit tokoh Cakil.....atau Hanoman. Nah, kalau bhutonya gak keluar2....lama2 ngantuk sekali ( tekluk2/ tertidur sambil meng-angguk2). Di saat inilah biasanya Cek Ngah (Lo Tjiok Boen) mengajak saya keluar lalu dibelikan es sirsat dalam botol. Langsung segar dan rasa ngantuknya hilang, lalu masuk gedung lagi menanti munculnya bhoto2 galak........😄🙏


Memang benar, Keluarga Lo senang sekali dengan wayang, sejak saya masih kecil, malah empek Biauw Tik aja pernah punya 2 perangkat GAMELAN yg terbuat dari Kuningan, di taruh di rumah empek yang sekarang adalah kantor polisi (rumah keluarga kami dulu di Mojowarno), itu dulu tempatnya nyimpen 2 perangkat gamelan.

Lo Gwat Liang , Ds Durenan - Trenggalek, 22 October 2021


Foto Roy Lo Ping Lok (Sebelah kanan) dengan keponakannya yaitu Lo Khing Soen - alm (Anak Lo Gwat Liang)

TENONGAN

(DICERITAKAN OLEH : LO KWIE THAY (RM ANTONIUS SAD BUDIANTO CM),


Sekitar tahun 1960an, keluarga kami Lo Tjiok Liep masih berbagi tinggal serumah dengan cek-liknya (adik bungsu engkong saya: Lo Biaw Tjwan), yaitu Cek kong Lo Kok Hian. Walau beda generasi umur papi dengan cek kong hampir sebaya. Maka anak anak mereka juga nyaris sebaya. Lo Ping Lok (Roy) anak bungsu cek kong bahkan lebih muda daripada saya. Jadi untuk Roy dan kakaknya Lo Ping Hien, kami anak anak Lo Tjiok Liep tidak memanggilnya encek atau om, namun kami langsung memanggil Namanya saja alias “njambal”.

Dimasa itu, kami sering njajan, beli kue “Tenongan”, yang dijajakan dengan cara disunggi di atas kepala. Tenong itu seperti rantang besar bulat yang berdiameter sekitar 1 meter. Karea cukup besar, “tenong” macam-macam kue seperti : lumpia goreng, lumpia basah, bikang, kue tok (disebut juga kue-ku), wajik, lemper, nagasari, kue lumpur, pisang goreng dan lain lain. Belasan macam kue itu sebenarnya merupakan kreativitas campuran budaya Cina dan Jawa, yang sering disebut “Masakan Nyonya”.

Kreasi campuran masakan Tionghoa dan masakan local bukan hanya beruupa macam macam kue, namun juga menghasilkan kreativitas beragam lauk pauk yang sangat kaya ragamnya, seperti misalnya: Garang Asem, Rawon, Soto, Pindang Bandeng dll. Salah satu puncak kreasi ini adalah Lontong Cap Go Meh. Yakni lontong yang disajikan dengan beragam lauk, biasanya adalah: lodeh rebung atau kadang juga dengan sajian lodeh manisa, opor ayam, bubuk serundeng, bumbu kacang hijau, bumbu urap, telor masak petis dan lain lain. Pokoknya sedap sekali deh! Seperti Namanya, Lontong Cap Go Meh ini dihidangkan sekitar hari ke-15 setelah perayaan Tahun Baru Imlek.

Masakan Nyonya ini termasuk kreativitas budaya “Tionghoa Baba”, yakni Perkawinan campuran orang tionghoa dengan orang melayu. Kaum Tionghoa Baba ini tersebar mendiami daerah Jawa, Sumatera, Malaysia, Singapore. Di Jakarta kini ada beberapa Restoran Nyonya eksklusif yang mahal namun laris pengunjung.

Sebagai anak kecil usia 3-4 tahun Roy hampir setiap hari memanggil Ibu Penjaja Kue Tenong. Kami anak anak yang lain ikut senang karena bisa ikut memilih dan dibelikan kue. Suatu kali maminya menegur: “Roy, jangan panggil penjaja kue tiap hari, tempo-tempo (= kadang-kadang) saja.”

Dasar anak kecil yang gemar makan, Roy dengan polos menyahut: “Yo wes Mi, tapi tempo-tempo itu makanan apa, Mi?”


Malang, 26 October 2021