RINGKASAN HIDUP


Lo Biauw Tjwan dikenal sebagai sosok yang pendiam dan disiplin, serta pekerja keras.


Saat tulisan ini ditulis, anak-anak dari Lo Biauw Tjwan yang menjadi saksi hidup, hanya tersisa anaknya yang paling kecil yaitu Romo Hadi Susanto O’Carm (Lo Tjiok San). Menurut Romo Hadi, papanya meninggal dunia pada tahun 1959 karena penyakit asma, dan semasa hidupnya Lo Biauw Tjwan dikenal sebagai seorang kontraktor pada masa itu, dan Pasar kota Mojowarno merupakan salah satu bangunan yang didirikan oleh Lo Biauw Tjwan sebagai seorang kontraktor.

Keturunan Lo Biauw Tjwan dapat dilihat lewat tautan disebelah/bawah ini:

FOTO KELUARGA BESAR LO BIAUW TJWAN

KETERANGAN : Berdiri dari kiri : Lo Tjiok Sian, Lo Thian Bing Untung, Lo Lian Ie, Lo Kwie Ing Theresia, Lo Lian Tien, Lo Tjiok Boen

Duduk dari Kiri : Margaetha Tjioe Swie Pik dg Lo Kwie Thay Antonius Budianto (dipangku), Lo Kwie Hong (anak Kecil berdiri), Lo Tjiok Liep, Go Piat Nio, Lo Biauw Tjwan, Tan Lan Nio, Lo Kwie Bie (dipangku), Lo Gwat Bing.

Bersimpuh dibawah Anak anak: Lo Kwie Yang, Lo Kwie Lim, Lo Kwie Ho, Lo Ping Hien (anak dari adik Lo Kok Hian), Lo Kwie An (yang pakai baju anak perempuan)

CERITA KENANGAN

KISAH PERJALANAN MENGUNGSI DARI MOJOWARNO KE MOJOKERTO

(DICERITAKAN OLEH : LO TJIOK SIAN- 16 MAY 2021)


Masuknya tentara Jepang tahun 1942 membawa perubahan besar dalam kehidupan keluarga anak anak Lo Swie Hwa. Kakek saya Lo Swie Hwa sendiri dan istrinya pada waktu itu sudah meninggal dunia.

Harta keluarga kami habis dirampok. Sapi-sapi ternak setiap hari dicuri oleh orang orang yang kami tidak tahu siapa. Bahkan pagar besi pelindung rumah pun habis hilang entah kemana, berikut dagangan dan isi rumah juga ludes dirampas. Maklumlah, situasi perang kala itu membuat orang berbuat nekad. Dalam situasi seperti ini, usaha dagang tentulah tidak mungkin dilakukan.

Perang Dunia, perlawanan terhadap invasi Jepang membuat keadaan semakin susah. Kondisi itu membuat empek saya Lo Biauw Tik sakit, dan mengalami gangguan mental. Peristiwa demi peristiwa memaksa keluarga Lo memutuskan untuk pindah ke Mojokerto, sebuah kota yang dirasa jauh lebih aman keadaannya pada masa itu. Sambil terus berharap hidup akan lebih baik disana.

Tahun 1949, tujuh tahun setelah masuknya tentara Jepang, dan keadaan perekonomian keluarga yang morat marit, Keluarga kami memutuskan mengungsi ke Mojokerto. Empek saya Lo Biauw Tik dan papa saya Lo Biauw Tjwan dengan kakak saya Lo Gwat Bing mengungsi dulu dari Mojowarno ke Mojokerto. Sedangkan kami sisanya berjalan kaki via Mojoagung, sambil membawa beberapa ekor sapi milik empek Lo Biauw Tik yang masih tersisa. Jalan kaki itu kami tempuh sejauh kurang lebih 10 km, bersama dengan keluarga kakak sulung saya Lo Tjiok Liep dan istrinya yang membawa 2 anak mereka yang masih kecil, bahkan sambil menggendong bayi (Lo Kwie Yang yang masih bayi). Untunglah begitu sampai Mojoagung, ada truk yang bersedia mengangkut kami.

Lo Biauw Tjwan & Lo Biauw Tik meninggalkan rumah yang terletak di depan pasar Mojowarno itu lebih dulu, dan menuju rumah baru sewaanya yang terletak di jalan Residen Pamuji (dekat permandian Sekar Sari Mojokerto). Sementara rumah keluarga Lo Biauw Tjwan yang terletak didepan pasar Mojowarno tersebut dibeli oleh keluarga Lo Biauw Hwie, sampai sekarang masih ditempati oleh cucunya, Lo Hong Liong

Seingat saya yang ikut dalam rombongan pengungsi itu ialah : Lo Tjiok Liep dan Istri, dengan 2 anaknya yang masih balita, Lo Tjiok Boen; Lo Thian Bing dan saya Lo Tjiok Sian.

Usaha kami yaitu berdagang Palawija masih diteruskan di Mojokerto , sambil membuat Sabun dan berternak sapi untuk diperah susunya.

Anak anak Lo Tjiok Liep (Anak pertama sampai dengan anak ke 3) tinggal bersama kakeknya Lo Biauw Tjwan di rumah jalan Klenteng (setelah pindah dari Jl Residen Pamuji) , sementara anak ke 4 lahir di Rumah jalan Stasion no 37, yang terletak pas didepan Stasion Kereta Api Mojokerto.

Lo Kok Hian & Lo Tjiok Liep berkongsi menjalankan usaha ternak sapi di rumah depan Stasion itu, sementara Lo Biauw Tik membeli rumah di Jalan Stasion 103 yang letaknya sedikit ke arah timur. Disitu dia juga memiliki beberapa ekor sapi.

Tahun 1950 pindah ke rumah Niagara (Rumah yang terletak depan Stasion Kereta Api Mojokerto)

Tahun 1945 Lo Kok Hian pindah ke mojokerto lewat Brejel - Ngoro Jombang Mojokerto

1946 Lo Ping Gwan lahir di rumah jalan Kapten Sumoharjo rumah The Ban Tjiang (Besan Cek-Lik saya : Lo Kok Hian).

1961 Cek Lik Saya Lo Kok Hian pindah ke Surabaya jalan Pacar Keling karena berdagang kain di pasar.

kembali ke daftar isi

Foto halaman rumah Mojokerto - Jalan Stasion no 37 (Perusahaan susu Niagara). Foto ini diambil th 1956, sebelum Maritjie Lo (Anak Lo Kok Hian) masuk asrama di Jogja. Kondisi bangunan, masih seperti ini hingga th 1970. (Jalan Stasion kini berganti nama : Jalan Bhayangkara)

Mulai dari belakang duduk (Kanan-Kiri) : Marietjie Lo Lian Hong, Mariati (The kim Hwa), Lo Ping Liong, Esther Lo Lian Kien sedang mangku adiknya Lo Ping Gwan (Sumber Marietjie Lo)



KISAH PERJUANGAN HIDUP KELUARGA LO BIAUW TJWAN DI MOJOWARNO JAMAN PERJUANGAN DARI TAHUN 1942 - 1950

( DICERITAKAN OLEH: LO TJIOK LIEP (ALMARHUM) DISADUR DARI SCRIPT PERJALANAN HIDUPNYA,

DIKETIK BELIAU TANGGAL 3 NOVEMBER 1987)


Tahun 1945 Jepang kalah perang, tentaranya harus pulang ke negaranya. Bung Karno dan Bung Hatta mengambil kesempatan ini untuk memproklamirkan kemErdekaan Indonesia. Tetapi tidak lama, masuklah tentara Gurkha. Tentara Gurkha adalah tentara Inggris yang kebanyakan adalah orang orang India dan nepal yang sengaja digembleng untuk menjadi pasukan andalan kerajaan Inggris. Masuknya tentara Gurkha ini lewat Surabaya, dan tentu saja mendapat perlawanan dari prajurit Tentara Rakyat di Surabaya. Syukurlah, Tentara Gurkha itu berhasil diriging mundur dan tidak sampai masuk ke Mojowarno.

Tetapi tidak lama kemudian, masuk lagi tentara Belanda. Maksudnya akan menjajah lagi. Kali ini tentara Belanda bisa masuk sampai ke Jombang dan Mojowarno. Setiap kota yang akan dimasuki tentara Belanda, 2 -3 hari sebelumnya sengaja dibumi hanguskan oleh Tentara Rakyat Indonesia. Saat itulah banyak penduduk tionghoa yang menjadi korban keganasan perang. Harta mereka dirampas, terluka dan bahkan tewas, dan lain sebagainya. Di Kediri, saya dengar banyak orang Tionghoa yang digiring masuk ke gudang besar, entah mau diapakan. Untungnya, tidak lama... tentara Belanda datang sehingga meraka lari tunggang langgang, keluar dari gudang tersebut dan tahanan Tionghoa banyak yang selamat.

Sementara sejak tahu 1942 , di Mojowarno, kehidupan ekonomi keluarga kami sudah sangat menurun semenjak masuknya Jepang. Bukan hanya harta kami saja yang habis, namun mata pencaharian dagang keluarga kami hancur. Rumah kami rusak sampai pernah kami terpaksa lari meninggalkan rumah ke pelosok pelosok kampung. Demikian itu terjadi berulang kali, demi menyalamatkan diri pada masa itu.

Tahun 1949, kira kira bulan Nopvember, Tentara belanda masuk lagi ke Mojowarno dan bermarkas di dekat rumah sakit, saat itulah semua orang Tionghoa bila malam tiba berkumpul dan bermalam dirumah Lo Gwat Bing adik saya yang diangkat anak oleh paman saya Lo Biauw Tik.

Sudah sebulan lamanya penduduk pribumi yang laki laki terdesak meninggalkan rumahnya dan lari ke pegunungan. Kami sendiri mulai merasa takut dan kuatir sebab menunggu keadaan demikian, tidak tahu sampai kapan bisa normal kembali. Maka disitu kami memutuskan untuk pergi mengungsi saja ke Mojokerto, sebab di Mojokerto ada paman saya yang bernama Lo Kok Hian, yang sudah lebih dulu tinggal disana.

Disitulah saya meminta ijin untuk dikawal oleh tentara Belanda. Rombongan kami terdiri dari laki laki dan perempuan, tua-muda serta anak anak dengan berjalan kaki sepanjang 10 km kearah Mojoagung sambil membawa beberapa bungkus pakaian. Sesampainya di Mojoagung, barulah kami bisa naik kendaraan ke Mojokerto.

Waktu itu anak saya baru 2 orang. Anak pertama, seoarang putri lahir 15 Oktober 1946 bernama Lo Kwie Ing yang setelah dibaptis bernama Maria Theresia Indrawati. Yang ke 2 putra, lahir 22 October 1948 bernama Lo Kwie Yang yang nama baptisnya Tarcisius Suryo Hadipranoto. Keduanya lahir di Mojowarno.

Perjalan kami mengungsi ke Mojokerto itu terjadi di bulan Desember 1949 sambil membawa uang yang dinamakan ORI (Oeang Republik Indonesia), untungnya masih bisa ditukar dengan uang Belanda, walaupun nilainya sangat kecil.

Demikianlah kehidupan sebagai pengungsi itu memang sangat sengsara.

kembali ke daftar isi


SEPENGGAL KISAH KEHIDUPAN MASA MUDA LO TJIOK LIEP

(DICERITAKAN OLEH : LO TJIOK LIEP (ALMARHUM) DISADUR DARI SCRIPT PERJALANAN HIDUPNYA,

DIKETIK BELIAU TANGGAL 3 NOVEMBER 1987)


Nama saya Lo Tjiok Liep, lahir tanggal 20 Maret 1917. Papa saya Lo Biauw Tjwan lahir tahun 1892 di Tuban, dan mama saya, Go Piat Nio lahir 1894 di Jombang.

Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang tinggal di Mojowarno berdagang menjual barang barang kebutuhan penduduk, seperti beras, gula, kopi, minyak gas dan kelapa. Selain itu mereka juga berdagang palawija antara lain : kedelai, jagung dan lain lain.

Setelah saya, lahir adik perempuan Lo Lian Tien tahun 1919. Tahun 1921 lahir lagi adik perempuan Lo Lian Ie. Tahun 1923 lahir lagi adik laki Lo Gwat Bing. Tahun 1925 Lo Tjiok Boen dan 1928 Lo Thian Bing dan terakhir 1931 Lo Tjiok Sian.

Saya bersekolah Tionghoa di Mojoagung lalu dilanjutkan sekolah SMP di Surabaya.

Karena saya pikir pikir sekolah Tionghoa tidak ada kemajuan, karena saya pikir tak mungkin saya melanjutklan sampai ke Tiongkok, juga mengingat adik adik saya begitu banyak, lebih baik jika saya tidak lagi melajutkan belajar, tetapi membantu orang tua bekerja. Saya berhenti sekolah sampai dengan SMP kelas satu. Hanya saya yang bersekolah Tionghoa, sementara adik adik saya semua sekolah Belanda.

Ketika Jepang masuk Mojowarno tahun 1942, tidak ada lagi sekolah Belanda yang buka. Adik adik saya terpaksa berhenti bersekolah.

Kami yang berdagang, tidak bisa bekerja seperti biasanya, toko kami tutup, sementara untuk menyambung hidup saya beralih bekerja keluar kota mencari barang apa saja yang sekiranya menguntungkan untuk dijual lagi ke kota lain. . Saya tempuh itu dengan berkendaraan kereta api karena mobil saat itu tidak boleh ada yang punya , hanya Jepang saja yang boleh naik mobil.

kembali ke daftar isi


KISAH KEHIDUPAN LO TJIOK LIEP

(DICERITAKAN OLEH : LO TJIOK LIEP (ALMARHUM) DISADUR DARI BUKU KENANGAN,

PESTA EMAS PERKAWINAN 15 JANUARY 1943- 1993 )


PAULUS LOKA SUBRATA


Lahir di Mojokerto tanggal 20 maret 1917 sebagai anak pertama dari pasangan Lo Biauw Tjwan dengan Go Piat Nio. Orang tuanya memberi nama Lo Tjiok Liep. Ia mempunyai dua orang adik perempuan yakni Lo Lian Tien (1919 dan Lo Lian Ie (1921), keduanya sudah meninggal dunia. Adik adiknya yang lain laki laki adalah : Lo Gwat Bing, (1923), lo Tjiok Boen (1925), Lo Thian Bing (1928) dn Lo Tjiok Sian (1932) si bungsu yang kemudian menjadi iman ordo Carmel, romo R Hadisusanto

Mojowarno adalah sebuah kecamatan pedesaan yang terletak diantara kabupaten Mojokerto dan Jombang,. Darah ini menjadi cikal bakal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Latar Belakang daerah pedesaan ini membuat keluarga lo akrab dengan budaya dan bahasa Jawa. Mereka bergaul tanpa canggung engan orang pedesaan, dan memahami dengan baik kesenian Jawa seperti wayang dan ketoprak.

Lo Tjiok Liep mendapat pendidikan yang cukup baik di sekolah tionghoa sampai mengi jak bangku sekolah menengah. Selanjutnya sebagai anak pertam ia harus bertanggung jawab mencari nafkah baginorang tua dan adik adkinya, lebih lebih karena yahnya mulai sering sakit. Hal ini rupanya membuat dia ,emjadi orang yang penuhntanggung jawab dan tegas, sampai tersa agak keras. Namun sebenarnya ia orang yang suka humor sabar dan elate, dan penuh perhatian.

Ini tampak dari kesabarannya merawat anggota keluarga yang sakit. Ia juga seorang pekerja keras yang ulet. Segala bentuk usaha dia usahakan juga di jaman Jepang yang serba sulit.

Walaupun berpalat belakang keluarga pedagang, ia sangat menjujung tinggi pendidikan. Ia rajin membaca agak tidak ketinggalan jaman. Ia mendorong anaknya un tuk sekolah dengan baik sampai pendidikan tinggi, dan karena itu tidak melibatknan anaknya dalam pekerjaan rumah tangga dan usaha dagangnya. Mungkin karena itu tak seorangpun dari anaknya mengikuti jejaknya sebagai pedagang atau berwiraswasta.



kembali ke daftar isi


KISAH MASA KECIL LO KWIE THAY

(DICERITAKAN OLEH : LO KWIE THAY (RM ANTONIUS SAD BUDIANTO CM),


WAYANG

(Kisah ini terjadi saat penulis masih berusia 5-7 tahun)

Kami anak anak dibiasakan tidur siang. Kadang untuk itu papi atau mami menemani kami agar sungguh sungguh tidur. Namun seringkali begitu mereka tidur, kami lompat tempat tidur untuk bermain.

Siang itu aku dan koh lik (Kwie Hong) main wayang-wayangan.

Aku jadi ksatria dan dia jadi musuh yang setelah pertarungan harus kalah (anak bungsu gak mau kalah).

Nah, agar seru kami iringi dengan gamelan memakai suara mulut kami. Semakin memuncak menuju peperangan gamelan semakin seru. Tapi baru mulai bertarung koh lik sudah lari. Tentu saja aku teriaki dia di sela bunyi gamelan dari mulutku: ”Oiiii....Belum waktunya, pertarungan baru mulai koq!”.

Tapi dia tetap lari.

Karena sudah kepalang main, aku joget sendiri sambil tetap kuiringi suara mulutku. Begitu berbalik kulihat papi (Lo Tjiok Liep) berdiri di ujung lorong depan kamar. Maka akupun lari tapi tetap dengan iringan suara gamelan di mulutku (tak enak menghentikan mendadak) …. Tentu koh-lik lari karena dia lihat papi lebih dulu … “sang dewa” tak berkenan dengan pertarungan kami … karena mengganggu orang tidur.

Entah darimana keluarga kami akrab dengan wayang.

Kedua kakak perempuan (Tres dan Jeanne) suka nari Jawa dan Bali. Cik de (Tres) malah pernah gabung group wayang Perbusa. Kami suka nonton wayang orang yang waktu itu tiap hari main di Gedung belakang Pasar Kliwon. Kami juga suka membaca komik wayang dari A. Kosasih.

Jadi, salah satu unsur budaya keluarga kami adalah budaya wayang. Pendidikan watak baik buruk, sedikit banyak kami pelajari dari cerita wayang.



ANTONIUS SAD BUDIANTO CM

Malang, 22 October 2021

kembali ke daftar isi


TANGGAPAN KISAH WAYANG

(OLEH THERESIA EKA INDRAWATI - CIK TRES )

Koreksi sedikit , waktu main wayang2an itu sdh agak malam (bukan saat tidur), kira kira pukul 7 malam . Saya ada disitu , baring dikursi malas , yg menghadap arah belakang rumah sambil membaca buku.

Saya lihat papi datang dari arah belakang sambil bawa palang pintu .

Kwie Hong karena menghadap arah belakang bisa lihat maka lari duluan lewat pintu depan , Tony karena hadap depan ya tdk tahu , mengira Kwie Hong tdk mau karena kalah jadi katanya “ ya wes kolik sing menang “

Tapi Kwie Hong sdh muter lewat gang dan mentertawakan Tony dari pintu belakang .

Betul Kwie Hoo , bunyi gamelannya gini (waktu dimarahi papi): .

Wkt wayange perang, gamelane bunyi :

Nong nong nong

Ning ning ning...

Gung gung gung ...

Waktu konangan bunyine tinggal:

Gem gem gem gem.

(Sambil nglurur pergi ndelik.)

Seingat saya, Kalau pas tidur siang , Kwie Hong yg dikeloni mami , nanti kalau mami ketiduran dia keluar terus naik pohon Bungur dibelakang dan tidur dipohon kayak Tarzan .

kembali ke daftar isi




BABA NYONYA (PERANAKAN)



Sebenarnya Papi saya tak pernah bercerita mengenai kapan pastinya kakek moyang kami datang ke Indonesia pertama kali. Setahu papi, kakek moyang papi dari Cina telah beberapa generasi di Indonesia. Papi tak tahu persis siapa dari kakek moyangnya yang datang ke Indonesia dan kapan. Yang jelas menurutnya dia pasti tidak asli cina lagi. Karena saat kakek moyang itu datang ke Indonesia, adat, budaya serta sulitnya transportasi laut tidak memungkinkan mereka membawa perempuan. Saat tiba di Indonesia, setelah bekerja dan memperoleh nafkah mereka menikah dengan gadis lokal. Untuk keluarga besar kami yang menetap di Jawa, tentunya gadis itu orang Jawa/Melayu.

Kemudian kami tahu bahwa kakek papi, yaitu Lo Swie Hwa berasal dari SiMa , provinsi Fukien (Hokian). Entah sudah berapa generasi diatas Kakek buyut Lo Swie Hwa itu, yang jelas menurut cerita papi Lo Swie Hwa bukan pendatang dari Cina.


Barangkali saja kakek buyut kita adalah loyalis dinasti Ming yang lari ke berbagai tempat di Asia saat Cina sekitar tahun 1644 dikuasai bangsa Manchuria (suku wilayah sebelah utara Cina), yang membangun Dinasti Ching di Cina. Mereka (Orang Han dinasti Ming) ini, tak mau mengakui Kaisar Ching yang mereka anggap penjajah karena orang asing (Manchu), namun karena tak mampu melawan, maka larilah mereka ke luar negeri. ( bdk. Claudine Salmon, Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara, KPG, 2020)

Umumnya perantau Cina yang menetap di Jawa tidak lagi berbahasa mandarin atau dialek suku asal mereka. Mereka melebur bergaul dengan penduduk setempat. Apalagi yang tinggal di pedesaan seperti kakek moyang kami. Mereka ini umumnya cukup fasih berbahasa Jawa (karena pergaulan dan relasi dagang) dengan pedagang atau konsumen setempat. Namun anehnya dalam pergaulan keluarga mereka tidak sepenuhnya berbahasa Jawa. Mereka membangun “ bahasa Baba ” yang sangat kuat dipengaruhi Bahasa Melayu. Dalam arti tertentu Baba ini adalah “ suku baru ”, bukan Cina asli ,dan bukan Melayu, juga bukan suku pribumi. Namun campuran dari semua itu. Menariknya mereka punya bahasa dan budaya kesatuan yang sama walaupun mereka ini tersebar di Jawa, Malaysia, Singapore, dan sebagian Sumatera. Orang Cina Medan, anehnya bukan suku Baba, mereka lebih mempertahankan budaya dan dialek asli mereka dari Cina. Apakah karena asalnya dari Cina berbeda suku, atau dari jaman yang berbeda?

Di Singapore ada museum Peranakan (Baba) dan beberapa film dibuat dengan latar belakang budaya ini. Yang paling terkenal adalah drama seri “Little Nyonya” yang dibuat tahun 2008 dan dibuat lagi 2020. Selain ceritanya yang seru dan menarik, film itu menyajikan budaya Peranakan atau Baba itu dengan cukup lengkap: arsitektur rumah, dekorasi, berbagai masakan, adat istiadat dll. Mereka juga punya organisasi Peranakan yang cukup kuat.

Saya pernah ikut misa dengan Bahasa Peranakan ini di Singapore. Terasa agak aneh dan lucu: “ Owe mengaku …”. Di Indonesia, khususnya di Jawa, kata “ owe “ sebagai kata ganti orang pertama (aku) lelaki, sedangkan perempuan menggunakan kata “saya”. Selain itu juga digunakan gua(aku) dan lu (kamu) mirip seperti bahasa Betawi. Atau malah mungkin “lu-gua”justru pengaruh dialek hok kian ke dalam bahasa Betawi. Beberapa contoh bahasa khas keluarga kami di Jawa Timur yang bercampur dengan bahasa daerah (Jawa & Indonesia) adalah kata “ ndek sini ” = di sini ; “ ambek ” = dengan, namun juga bisa berarti ambil -> “ ambekno ” = ambikan.

Bahasa Baba itulah yang digunakan dalam keluarga kami sehari-hari. Beberapa juga menggunakan campuran Bahasa Belanda, terutama bila kedua orang-tua pernah sekolah Belanda (seperti keluarga tante de kakak sulung mami). Bahasa Belanda hampir tak digunakan dalam keluarga Lo Tjiok Liep (papi saya), karena dia sekolah di sekolah Tionghoa, sedangkan mami sekolah Belanda. Darisitulah keluarga kami menggunakan Bahasa Baba itu. Syukurlah, di sekolah kami menggunakan Bahasa Indonesia baku, sehingga Bahasa Indonesia kami termasuk bagus.



ANTONIUS SAD BUDIANTO CM

Malang, 28 October 2021

kembali ke daftar isi

Kiri atas : Foto wanita Baba perananakan, biasanya dipanggil Nyonya (Bagi yang sudah menikah). Kiri Bawah Foto Istri Lo Biaw Hwie , bersama anak (Emma Lo ) dan ponakan, Kanan Besar : Foto Keluarga Lo Tjiok Liep 1993




AGAMA


Kami sekeluarga memeluk agama katolik mulai dari mami (Margartha Tjioe Swie Piek atau Hermien). Dia cerita bagaimana dia menjadi katolik ketika remaja. Saat itu keluarganya hidup di Surabaya. Rupanya dia mendengar agama katolik dari sekolah. Namun mungkin itu bukan sekolah katolik, sehingga dia harus mencari sendiri gereja katolik, mungkin dengan kakak sulungnya (tante de). Dia mengatakan pernah keliru masuk suatu gereja beberapa bulan, namun kemudian merasa bahwa itu bukan gereja katolik. Jadi dia mencari gereja lain dan akhirnya ketemu gereja Kelahiran Santa Maria, Kepanjen. Setelah mengikuti pelajaran agama, dia kemudian dibaptis saat usia 14 tahun. Begitulah Tuhan memanggil mami yang kemudian menjadi rasul dalam keluarga maupun keluarga papi.

Keluarganya kemudian pindah ke Kediri. Di situ dia bertemu papi yang saat itu tinggal di Mojowarno. Pertemuan tersebut terjadi karena dagang. Papi sebagai anak sulung harus bertanggungjawab menjalankan usaha dagang engkong Biauw Tjwan yang sakit-sakitan. Jadi dia kulakan barang dari Kediri untuk dijual di tokonya di Mojowarno. Mereka bertunangan pada bulan September 1942. Rupanya mami mengajak papi untuk menjadi katolik, maka papi mengikuti katekumenat di gereja St Vinsensius Kediri. Namun ketika Jepang menang dan masuk Indonesia keadaan menjadi kacau, banyak pastor Belanda dimasukkan interniran. Maka papi tak bisa melanjutkan katekumenatnya, sehingga mereka menikah dengan dispensasi 14 Januari 1943 di Gereja St Vinsensius Kediri. Setelah menikah mami diboyong ke keluarga besar papi di Mojowarno. Di kala keadaan memungkinkan mereka bersepeda untuk misa Minggu di Jombang, papi juga melanjutkan katekumenatnya di situ. Dalam kekacauan perang serta hampir semua romo Belanda diinternir, Jombang dan mungkin Kediri menjadi “stasi” Surabaya dilayani oleh romo pribumi yang ada. Akhirnya papi dapat dibaptis 1 April 1944 oleh rm PCL Dwidjosoesanto di gereja Kelahiran St Maria, Kepanjen Surabaya tempat mami dibaptis 6 tahun sebelumnya.

Rupanya perjuangan menjadi katolik itu membuat mereka lebih bersungguh-sungguh dalam beragama. Ketika kemudian mereka pindah ke Mojokerto dan situasi negara lebih stabil, mereka menjadi aktivis gereja paroki Mojokerto. Papi aktif di koor sebagai organis dan dirigen gereja, juga ikut Pemuda Katolik. Mungkin ini yang menyelamatkannya ketika negara bergolak sejak akhir tahun 1965, karena sebagai orang tionghoa papi juga tercatat sebagai anggota Baperki yang merupakan ormasnya PKI. Jelas sebagai orang katolik aktif tidak mungkin papi komunis. Mami juga aktif koor dan WKRI termasuk pernah menjadi utusan untuk bertemu presiden Soekarno.

Di rumah kami selalu ada meja altar tempat barang-barang suci: patung Maria, Hati Kudus Yesus, st Yosef, Rosario, buku-buku doa. Altar ini lama di tempatkan di tengah lorong, sehingga sering dilewati, rupanya untuk mengingatkan kami akan kehadiran Tuhan di tengah keluarga. Altar ini juga pernah diletakkan di salah satu kamar. Memang lebih tenang berdoa di situ, namun kehilangan fungsi pengingat kehadiran Tuhan, kecuali orang masuk ke kamar itu.

Namun yang paling meninggalkan kesan mendalam bagiku adalah melihat papi dan mami sebagai pendoa. Selain kadang menemani kami berdoa bersama di depan altar, mami maupun papi berdoa secara pribadi. Setiap malam papi berdoa Rosario sambil berjalan mengelilingi rumah kami yang luas, seolah menyadarkan dirinya bahwa sebagai kepala rumah tangga dia bertanggungjawab atas seluruh keluarga. Dan dia sadar bahwa itu tak mungkin dia lakukan tanpa berpasrah pada Tuhan. Sedangkan mami sering kulihat berdoa sekitar tengah malam dengan lilin bernyala di depan patung dan gambar kudus yang ada di kamarnya. Mami paling suka dengan gambar Hati Kudus Yesus, entah apakah ini berkenaan dengen nama baptisnya Santa Margaretha Alacoque yang menerima penampakan Hati Kudus Yesus diabadikan di basilika Sacre Couer(Hati Kudus) Paris. Aku melihat mami berdoa tengah malam ketika sebagai anak bungsu aku masih tidur bersama mereka. Ketika kutanyakan mami sembahyang apa malam-malam. Dia menjawab: “Yo nyembayangno kalian anak-anakku.” Aku percaya panggilanku menjadi imam tak lepas dari doa mami. Kesungguhan doa pribadi mereka lebih meyakinkan saya akan kehadiran Tuhan dan pentingnya relasi akrab dengan Tuhan daripada berbagai aturan agama dan kegiatan gereja yang harus kami lakukan.

Malang, 29 Oktober 2021

kembali ke daftar isi

KETURUNAN KAUM TERPELAJAR

(Dari buku penelitian ilmiah Claudine Salmon, LOYALIS DINASTI MING DI ASIA TENGGARA – Menurut Berbagai Sumber Asia Dan Eropa, (terjemahan Indonesia), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2020)

Saya menemukan resensi buku ini di majalah Tempo, lalu mencari di toko buku.

Buku ini menarik karena “mungkin” menjelaskan mengenai asal-usul kakek moyang kita.

Umumnya kita menganggap kakek moyang kita datang ke Indonesia karena di negeri leluhur mereka orang miskin, mungkin petani miskin, sehingga - sebagaimana kita nonton di beberapa film mereka menjadi budak pembuat rel kereta api di Amerika (termasuk antara lain film Jet Lie dan Jacky Chan).

Namun ini berbeda dengan loyalis dinasti Ming yang mencari penghidupan baru sejak Cina terus menerus terancam dan kemudian jatuh di tangan bangsa Manchu yang membangun dinasti Qing di Cina yang memerintah selama sekitar 4 abad hingga jaman Republik (abad 17-20). Jadi loyalis ini lari dari Cina lebih karena alasan politis daripada ekonomi (karena miskin), walau tentu saja di wilayah tempat pelarian mereka mencari nafkah. Namun mereka ini bukan pekerja kasar, melainkan bangsawan dan pejabat yang terpelajar. Terbukti mereka menjadi orang penting di negara mereka merantau. Untuk menyebut beberapa saja:

Chen Shangchuan, Mo Jiu dan putranya Mo Tianci pahlawan yang sangat dihormati seperti dewa di Vietnam; Kapitan Li Kap atau Li Weijing penasehat spiritual politik Kesultanan Melaka, Kaytsu sahabat dan penasehat Sultan Ageng di Banten (saat itu belum masuk jajahan VOC yang menguasai Batavia). VOC bersikap mendua, di satu pihak mereka membutuhkan orang tionghoa ini karena kepintarannya untuk memimpin dan membangun wilayah jajahan dan perdagangannya (diberi pangkat Mayor, Kapitan, Letnan dll), di lain pihak mereka ini bisa menjadi ancaman untuk menggerakkan massa melawan VOC.

Mungkin karena terpelajar mereka juga lebih mudah beradaptasi/berintegrasi dengan masyarakat setempat sementara masih kuat mempertahankan adat leluhur seperti hari hari raya tertentu, penghormatan leluhur dll. Mereka ini bergaul baik dengan penduduk setempat termasuk menikah dengan perempuan setempat yang melahirkan Peranakan dengan nama tionghoa. Menariknya kemudian mereka lebih suka menikah dengan sesama tionghoa peranakan daripada dengan pribumi, mungkin juga untuk menjaga adat istiadat leluhur.

Pokoknya mereka ini bukan pekerja kasar, namun orang terpelajar dan berperanan dalam bidang ekonomi dan politik di tempat perantauan, termasuk menjadi pejabat penting. Bahkan beberapa menjadi penerjemah karena mereka menguasai bahasa-bahasa Eropa dalam perundingan dagang maupun politik. Tradisi belajar dan menghargai pendidikan ini rupanya mereka turunkan pada anak cucunya. Kalau kita perhatikan anak anak Lo Biauw Tjwan juga mendapat Pendidikan yang relatif tinggi saat itu. Papi (Tjiok Liep) berpendidikan sekolah tionghoa sampai tingkat SMP, rupanya adik-adiknya semua Pendidikan HIS (Belanda) walaupun mereka tinggal di desa Mojowarno.

(Tjiok Sian juga lupa mengapa Tjiok Liep sekolah tionghoa dan dimana, karena di Mojowarno sendiri tak ada sekolah tionghoa. Tjiok Sian sendiri sekolah HIS di Mojoroto – kini SDNegri. Barangkali cek Gwat Liang bisa melengkapi karena dia sendiri sekolah tionghoa. Hal lain yang perlu digali adalah apa pendidikan Lo Sioe Hwa dan keempat anaknya, apalagi mereka semua lelaki? Mustahil tanpa Pendidikan mereka bisa menjadi hartawan di Mojowarno)


ANTONIUS SAD BUDIANTO CM

Malang, 7 November 2021

kembali ke daftar isi